an Indonesian in Indochina (babak #6)

MENJADI warga mayoritas adalah bagian hidup saya. Tinggal di pulau Jawa, berasal dari suku Jawa pula –walau mata saya sipit, apalagi jika tertawa, tinggal segaris, sering disapa Koh daripada Mas-, lahir dan hidup di ibukota negara, bersekolah dan bekerja. Semuanya mayoritas. Agama saya pun agama mayoritas yang dianut paling banyak oleh penduduk Indonesia. Hidup serasa mudah saja. Perayaan hari raya, beribadah, bersekolah dan bersosialisasi, semuanya mudah saja, aman, damai, tenteram, loh jinawi. Budaya yang saya anut pun budaya mayoritas, ah nikmat mana lagi yang harus saya dustakan. Kawan, jika kalian berada di posisi saya, pernahkah kalian membayangkan apa yang dirasakan kaum minoritas? Saya tidak pernah membayangkannya hingga saya tiba di Yangoon.


Sekejam-kejamnya ibu tiri masih lebih kejam ibukota. Buktinya adalah anak-anak nun dari desa Taunggyi yang berjarak lebih dari sepuluh jam perjalanan menggunakan bus dari Yangoon, dipaksa untuk datang ke ibukota. Demi bekerja, demi uang, demi mencari kehidupan. Walau begitu, mereka pantang mengemis.

Kawan, lihatlah itu siapa yang tertidur pulas di area tunggu keberangkatan bandara KLIA2. Tertutup sarung, demi menyumpal pori-pori tubuh akibat hawa dingin bandara sejak tengah malam. Kalau dulu Kuala Lumpur terasa jauh dan asing, tapi kini, saya justru merasa bandara ini adalah homebase sebelum menuju destinasi lain. Jadi saya sama sekali tidak berkeberatan untuk ngampar alakadarnya menunggu jadwal penerbangan lanjutan.



Sejak saya mengenal Association of South East Asian Nations atau yang biasa disingkat ASEAN, ketika zaman di Sekolah Dasar dulu, maka sejak itu pula lah saya jatuh cinta dengan negara-negara ASEAN. Nilai ujian saya selalu melambung tinggi bak balon yang baru diisi helium setiap kali ditanya kelima negara pendiri ASEAN. Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina. Sebab pertanyaan yang ditanyakan pasti itu lagi-itu lagi, seputar nama Ibukotanya dan nama perwakilan delegasi ASEAN. Baru kemudian Brunei Darussalam ikut bergabung. Menjadi enam negara. Semakin lama, jumlah negara ASEAN pun bertambah. Ikutlah Vietnam, Kamboja, Laos, dan Myanmar menyemarakan keluarga ASEAN.



Kegiatan organisasi ASEAN juga semakin beragam, yang saya ingat adalah adanya ASEAN Games di Chiang Mai tempo hari. Waktu itu saya hanya menerka-nerka saja dimana itu letak ChiangMai. Bahkan cara menuju ke negara-negara ASEAN itu dibutuhkan paspor pun, saya tidak mengerti. Udik sekali.

Depok, Indonesia
Masa Sekolah Menengah Pertama

Dia baru tiba dari Finlandia, kurus tinggi semampai untuk anak usia SMP sepantaran. Berkulit sawo matang dengan andeng-andeng di pergelangan tangan kanan. Wajahnya manis campuran Jawa dan sedikit, -sedikit sekali-, bercitarasa India. Rambutnya panjang, dikepang satu sepinggang. Senyumnya renyah, menyembulkan gingsul malu-malu. Ketika dia bangun dari kursi dan maju ke depan kelas, selalu menyilangkan tangan berandeng-andengnya kebelakang pinggang. Seolah ingin memperlihatkan kepada saya, yang duduk tepat di belakangnya. Gerak jalannya ketika dia bangun dari duduk, mengambil kapur, menulis di papan tulis, sampai duduk kembali di kursinya, saya hapal betul adegan itu secara paripurna. Kawan, tahukah kalian ini yang disebut ganjen tingkat menengah pertama sedang melanda anak baru gede.

Monik, menyapa ramah di hari pertama kepindahannya ke sekolah saya. Tahun ini tahun terakhir kami mengenyam pendidikan wajib belajar sembilan tahun sesuai program pemerintah. Lalu kenapa Monik bisa nysar dari Finlandia sampai ke Depok, apakah dia datang khusus untuk menemui saya? Kemudian sengaja duduk di depan kursi saya tanpa mengacuhkan kalau sejak saat itu saya merasa lebih bahagia daripada anak SMP manapun di planet bumi.

Ik ben Monik, hoe is het ermee? kemudian dia mengulurkan tangan. Apa itu ikben? Kacamata riben? Ternyata wahai orang udik, itu adalah Bahasa Belanda yang saya tidak tahu bagaimana menuliskannya secara benar. Hanya terdengar di telinga saya menyerupai ikben dan huisetdermey yang berkesan mewah ningrat ala bangsawan, artinya: nama saya adalah Monik, apa kabar? Kalau Monik tidak cepat-cepat tertawa menghilangkan ragu dan gugup di wajah saya, hampir saya menjawab sapaannya dan mengenalkan bahwa Nama Saya Budi, gagap, gagap gampita. Alamak, mulai saat itu saya bersumpah akan mencintai bahasa-bahasa lain selain Bahasa Indonesia.

“Hoe is het ermee?”
-Bahasa belanda, artinya: apa kabar?, biasanya digunakan untuk menyapa orang yang seumuran-

Setahun terakhir masa di SMP itu adalah masa paling indah. Monik, yang kaos kakinya paling panjang daripada pelajar putri lainnya hingga menutupi seluruh betis, selalu mengajarkan bahasa asing hingga kami mempunyai bahasa rahasia yang disebut Bahasa Sentringen. Jika diucapkan, seolah-olah kami berdua fasih berbahasa Jerman. Monik sungguh jenius bisa menguasai banyak bahasa. Tentunya dia juga sangat manis, baik hati, ramah, dan tidak sombong. Kawan, jika ada istilah cinta monyet, bolehlah dikatakan saya sedang dilanda cinta monyet itu. Tidak, bahkan lebih besar lagi daripada cinta monyet. Cinta beruk pun boleh. Ah, tidak cinta gorilla lebih baik. Tunggu bukankah paling besar kingkong. Sebut saja, saya sedang dilanda demam cinta kingkong. Besar, besar sekali.

Setahun rasanya cepat saja. Setelah ujian akhir sekolah, saya tidak pernah lagi bertemu Monik. Entah bersekolah dimana dia. Apakah kaos kakinya masih panjang macam kaos kaki Napoleon Bonaparte? Apakah kembali ke Finlandia atau justru ke Belanda, negeri impiannya? Satu hal yang pasti, sejak saat itu, saya sangat tergila-gila dengan bahasa asing dan luar negeri. Entah dimana letak luar negeri, setiap kali mendengar kata luar negeri, semangat saya membuncah. Dulu saya tidak tahu alasan apa sebenarnya hingga saya mampu menghafal kosakata beragam bahasa. Ah, kawan tahukah kenapa? Sini saya beritahu, sebenarnya saya belajar berbagai bahasa agar bisa lagi bertemu dengan Monik. Suatu hari nanti.

Yangoon, Myanmar
2015

Sule Paya menjulang angkuh ditengah kota. Sambil masih kikuk karena baru turun dari bus bernomor 51, seluruh Pagoda Sule Paya itu berhasil dua kali saya kelilingi. Beberapa saat sebelum itu, pesawat nyaris gratisan yang saya tumpangi dari Kuala Lumpur mendarat di Yangoon. Saya berjalan kaki keluar bandara, menuju jalan raya demi mencari bus bernomor 51 atau 53. Ternyata angka yang tertulis di kaca depan bus menggunakan Bahasa Burma. Runyam sudah.



Begitu mendapatkan bus bernomor 51, -hasil jerih payah tanya orang kanan kiri-, saya menangkap sesuatu yang ganjil.  Bus itu, dan mayoritas kendaraan di Yangoon, meletakkan setirnya di sisi kanan. Ajaibnya lagi, mereka berkendara di sisi kanan juga. Sehingga jika penumpang ingin naik kendaraan harus agak memutar sedikit, karena pintu masuknya berada di sisi kiri. Oh, lucunya kota ini.



Rencana saya adalah langsung mencari bus menuju Bagan. Ibarat menggarami lautan, sia-sialah rencana saya, sebab tak  ada lagi bus yang berangkat kecuali malam nanti. Itu pun harus dari terminal bus Aung Mingalar yang penuh perjuangan untuk menuju kesana. Semangat tetap berkobar melihat Bagan.



Menunggu waktu berangkatnya bus ke Bagan, saya mencoba Athoke. Sejenis mie lokal yang cara penyajiannya harus dicampur dengan tangan terlebih dahulu. Memang Athoke, secara harfiah berarti ‘mencampur’. Jadi mie kuning itu dicampur dengan daun teh, kacang-kacangan serta bumbu-bumbu lainnya menggunakan tangan. Tingkat kepedasan pun bisa diatur sesuai minat pembeli. Jangan tanya saya tentang higienisme dari masakan itu. Sebagai gambaran, saya tidak melihat adanya itikad baik dari sang penjual Athoke untuk membersihkan tangannya terlebih dahulu atau membalutnya dengan plastik sebelum melumuri Athoke dengan berbagai bumbu.


Kesempatan tidak datang dua kali. Athoke pun harus dirasakan, maka saya coba pesan satu porsi, mengumpulkan nyali, menyiapkan keberanian, dan mengatur strategi agar bisa menikmati makanan yang dicampur legit dengan tangan itu. Rasanya tidak terlalu spesial, Athoke yang saya cicipi lebih terasa menggunakan penyedap rasa yang berlebihan.

###

Suatu kali guru matematika saya di SMP pernah mengatakan kepada murid-muridnya kalau kalian nanti akan tiba pada masa untuk tidak mendapatkan apa yang benar-benar kalian inginkan, sesuatu yang kalian cita-citakan. Jangan bersedih, jangan berputus asa, sebab kehidupan di dunia ini sudah dihitung sedemikian cermatnya oleh Tuhan hanya untuk kalian. Namun begitu, tetapah terus bermimpi dan melakukan yang terbaik. Saat itu saya hanya melompong bengong, baru belakangan menyadari makna pesan mendalam guru matematika saya yang bernama ibu Dra. Wiwi Gustiwi.

“Jangan bersedih, jangan berputus asa, sebab kehidupan di dunia ini sudah dihitung sedemikian cermatnya oleh Tuhan hanya untuk kalian.”
–Guru matematika SMP, yang menjabat wali kelas-

Akibat derasnya hujan di Yangoon, saya harus membatalkan rencana perjalanan saya menuju Bagan. Ditambah lagi saya diare setelah mengudap Athoke, padahal saya sudah cuci tangan, tapi penjual Athoke tidak cuci tangan rupanya. Saya harus melakukan sesuatu di Yangoon ini.



Lelah berjalan tak tentu arah di kala musim penghujan, membawa saya tiba di sisi barat Merchant Road. Rupanya Pagoda Sule ini dijadikan penanda sisi mata angin di Yangoon. Beberapa blok di sisi barat Yangoon telah saya telusuri demi mencari penginapan murah yang menyediakan sarapan lezat bergizi. Tibalah saya di Okinawa Guesthouse di blok ke-32. Di lorong inilah saya mencatat kekejaman yang dilakukan ibukota terhadap anak-anaknya.



###

Saya perhatikan banyak sekali pekerja di Yangoon yang masih anak-anak. Mereka bisa berprofesi menjadi penjaga toko kue, mengamplas batu di toko las bubut, bantu-bantu di toko elektronik, pembantu merangkap resepsionis di penginapan dan paling banyak bekerja sebagai pelayan restoran. Tapi tidak banyak yang memilih profesi sebagai pengemis. Disitulah saya langsung teringat perempatan-perempatan di Indonesia. Bocah-bocah kurang beruntung di negara yang paling saya cintai ini, lebih memilih menjadi pengemis. Mungkin pendapatan mereka lumayan karena orang Indonesia memang terkenal dermawan.



Kawan, salah dua bocah itu bernama Mambo dan Paiso. Mambo berusia 14 tahun dan Paiso 10 tahun. Kakak beradik. Mereka berdua laksana komandan bagi beberapa bocah lain seusianya yang juga bekerja di Okinawa. Awalnya saya acuh saja kenapa banyak anak-anak yang bekerja di penginapan ini. Tidak kah mereka pergi sekolah. Iseng saya tanya-tanya mereka.

Mambo sudah hampir dua tahun bekerja di Okinawa. Itu berarti usianya baru 12 tahun ketika pertama kali tiba di Yangoon. Dia berasal dari sebuah desa nun di Taunggyi sana. Lebih dari sepuluh jam perjalanan dari Yangoon, menggunakan bus. Jika menggunakan kereta akan lebih lama lagi. Jika kalian mencoba bepergian dengan kereta di Yangoon, jangan berharap akan membeli karcis di stasiun. Tiket kereta di Yangoon dijual terpisah dengan stasiunnya. Entah unik atau justru merepotkan.



Mambo sang pekerja keras awalnya hanya bekerja sebagai babu serabutan di Okinawa. Membersihkan tempat tidur, bersih-bersih ruangan, memasak, membantu menjaga resepsionis. Begitu terus dari pagi hingga malam. Hingga besok pagi. Hingga besok paginya lagi. Hingga hampir dua tahun sudah.



Melakukan ritual kerja sedemikian serabutannya, dalam usia yang masih belia, menjadikannya tangkas dalam urusan menerima tamu asing, berbenah dan remeh-temeh urusan per-resepsionis-an. Penguasaan bahasa inggrisnya pun lumayan mahir untuk anak seusianya. Dalam pada itu, saya jadi tersipu malu, bila teringat ketika saya seusia Mambo, masih saja senang merengek dan sibuk dengan demam cinta kingkong. Murahan, murahan sekali.

Mambo yang gemar mengenakan Longyi, ternyata disusul oleh adiknya Paiso ke ibukota. Alasan klasik, orang tua mereka tidak mampu membiayai kehidupan keluarga. Terpaksa kedua kakak-beradik itu harus merantau sejak dini. Putus sekolah. Ketika saya bertanya pada Mambo, seberapa sering mereka pulang kampung, maka jawaban Mambo hanya mengacungkan tiga jari.



Saya pikir, dengan jarak perjalanan hanya 10 jam saja menggunakan bus, mereka mudik setiap 3 minggu sekali di akhir pekan. Ternyata Mambo menggeleng. Bukan 3 minggu sekali atau 3 bulan sekali. Tapi 3 tahun sekali. Itu artinya sejak kedatangannya ke ibukota, belum pernah sekalipun dia pulang ke rumah. Kawan, tidakkah ibukota itu kejam?

I wish I could buy them a back home bus ticket, so they can meet their family. But they said: No time, very busy with working. Oh, God.

###

Jika kawan bernasib sama dengan saya, kaum mayoritas yang hidup disuatu tempat, merasakan kenyamanan hidup yang tersedia lahir batin. Tidak suka diganggu oleh konflik-konflik murahan dari para kaum minoritas apalagi yang berbau SARA, kalau boleh saya sarankan, cobalah berkunjung ke destinasi dimana mayoritas-isme yang kita rasakan berubah menjadi minoritas. Berani? Jujur, saya tidak berani. Tidak mau lebih tepatnya. Tapi pengalaman di Yangoon memberikan pelajaran baru tentang apa yang kaum minoritas rasakan, akhirnya saya rasakan juga.



Saya dibesarkan dengan budaya keramah-tamahan ala timur, keramah-tamahan ala Indonesia. Rasanya hanya tersisa ketika saya sampai di usia jenjang SMA. Semakin kemari, keramahan tulus ala Indonesia makin berkurang. Bukan hilang, bukan tidak ada lagi, masih ada keramahan itu. Tapi berkurang kadarnya. Dulu, dulu sekali banyak testimoni dari turis asing yang melancong ke Indonesia atau paling sering ke Bali, mengatakan kalau orang Indonesia itu ramah-ramah.  Ah, saya sebagai orang Indonesia, melambung harga dirinya karena menjadi bagian dari keramahan orang Indonesia. Tapi sekarang, coba kawan berkunjung ke Bali, ibarat menyalahkan globalisme dan akulturasi budaya, keramahan yang hilang itu dianggap wajar saja. Jakarta, rasanya sekarang  sangat tidak ramah, walaupun saya mencintai ibukota, tapi saya harus mengakui bahwa ibukota memang kejam.

“Jakarta, rasanya sekarang  sangat tidak ramah, walaupun saya mencintai ibukota, tapi saya harus mengakui bahwa ibukota memang kejam.”

Keramahan di Yangoon, masih patut diacungi jempol. Entah karena saya termasuk orang asing disana, atau memang semua orang di Yangoon memang ramah. Mulai dari bertanya jalan, makan, berbelanja, beribadah, semua orang yang berkomunikasi dengan saya menunjukkan antusiasme keramah-tamahan luar biasa. Bertanya jalan, saya diantarnya hingga ketujuan, padahal saya hanya bertanya arah. Makan, saya dibayari, padahal harga makanan emperan yang saya beli takut memberatkan mereka. Berbelanja, saya mendapatkan asistensi pelayanan luar biasa, bahkan ketika diluar toko turun hujan, disuruhnya saya membawa payung mereka agar terlindung hujan, tentu saja saya tolak. Paling membahagiakan adalah ketika beribadah.



Saya yang terbiasa bebas berkunjung ke Masjid manapun di Indonesia, kapan saja, harus menunggu hingga waktu dibukanya Masjid di Yangoon yang disesuikan dengan jam sholat. Padahal jadwal sholat saya pun masih belang-belang, tapi justru ketika masjid itu susah dicari, entah mengapa saya malah rajin menunggu waktu beribadah. Suara azan yang kerap terdengar 5x sehari di Jakarta, tidak begitu saja dikumandangkan bebas di langit Yangoon.

Bisik-bisik azan terdengar, hanya keras berbunyi di dalam masjid. Samar terdengar dari luar. Tapi justru disitulah entah kenapa saya lebih menikmati momen beribadah. Rindu rasanya. Seolah ibadah tidak perlu digembar-gemborkan, ini urusan saya dan Tuhan saya.

Menjadi seorang muslim dari Indonesia yang berada di Yangoon pun sangat terasa spesial ketika bertandang ke dalam masjid. Jemaah kebanyakan adalah orang Burma, keturunan dari Pakistan dan Bangladesh atau negara sekitar Myanmar. Saya seperti alien berada diantara mereka, kulit saya, wajah saya, postur tubuh saya, gerak-gerik saya, semuanya menjadi minoritas. Tapi ada satu kesamaan saya dengan mereka, sesama muslim. Disitulah spesialnya, mendadak saya diperlakukan bak pejabat ibukota yang datang sowan kedaerah terpencil. Kalaupun ada karpet merah, pasti sudah tergelar demi menyambut saya.



Where are you from? Seorang pengurus masjid menyambut saya dimuka pintu. I am from Indonesia. Langsung pengurus masjid itu berbinar-binar, laksana kedatangan tamu spesial. Padahal saya mah hanya apalah-apalah.

Perasaan ‘brother muslim’ itu benar-benar membuat saya terharu.  Kasak-kusuk mulai terdengar disudut-sudut masjid, hanya kata Indonesia yang berhasil saya tangkap. Selebihnya kasak-kusuk dalam bahasa Burma. Ketika saya menitipkan sandal dan payung, tidak diberinya nomor loker sandal. Seolah sendal jepit saya sesuatu yang keramat dan spesial, berasal dari nun jauh dari negara di seberang sana, tidak akan tertukar apalagi hilang. Jadi, jangan macam-macam dengan sandal tamu Indonesia ini. Kira-kira begitulah bunyi raut wajah penunggu loker, jika bisa saya terjemahkan dengan kata-kata.

“Ibadah tidak perlu digembar-gemborkan, ini urusan saya dan Tuhan saya.”

Setelah berganti dengan sarung, -Pria Burma mengenakan sarung dalam kehidupan keseharian mereka, yang disebut Longyi-, saya duduk menunggu dimulainya sholat berjamaah. Begitu rokaat pertama dimulai dan imam selesai membaca surat Al Fatihah, di langit masjid itu terdengar suara amin panjang. Hanya terdengar dari suara seseorang. Seseorang yang datang nun dari Indonesia sana. Melengking.

Rupanya adab sholat di Yangoon tidak mengenal aamiinn yang dibunyikan keras dan panjang seteleh imam membacakan Al Fatihah. Mulut ini yang terbiasa menunggu amin setelah kata Walladhooliiin, sontak membeku menahan malu. Tapi kawan, sekali lagi ibarat tabiat pejabat ibukota, tidak ada yang salah. Semuanya wajar, tidak ada pejabat yang salah. Padahal kalau ada lubang, rasanya saya ingin terjun kedalam situ.

###

Tidak banyak yang saya kunjungi selama berada di Yangoon. Sebagian besar hanya bangunan tua dan Pagoda yang menjadi ciri khas Yangoon. Shwedagon Pagoda misalnya, diperlukan 8 USD untuk dapat mengintip masuk kedalam. Ini berlaku bagi turis asing saja. Mengingat tampilan saya yang bisa disesuaikan dengan penduduk setempat dan berbekal sarung Longyi, melengang lah saya masuk ke Shwedagon Pagoda. Gratis.



Berbagai pagoda di negara-negara Indochina yang saya kunjungi, tidak saya temukan esensi perbedaannya. Mereka semua indah, berkilau dan sakral. Tidak banyak yang saya lakukan ketika mengunjungi Pagoda selain mengambil secuplik gambar.



Tempat lebih menarik di Yangoon, menurut saya adalah Dawgyi Kan atau danau Kandawgyi. Letaknya persis bersebrangan dengan Shwedagon Pagoda. Konon di tempat ini adalah tempat terbaik untuk memotret Shwedagon Pagoda diwaktu matahari terbenam. Sebab, kilauan emas Shwedagon akan terefleksikan di danau Kandawgyi, memantul sempurna. Saya belum beruntung mengabadikan momen itu, perkara monsoon. Tapi saya akan kembali lagi ke Myanmar suatu hari nanti.



** Sedikit tips ala-ala semoga berguna:
1.      Berkunjung ke Myanmar, perhatikan musim hujan atau yang disebut monsoon. Waktu terbaik adalah di bulan Maret-May (musim panas) dan November-Januari (musim dingin). Jangan seperti saya datang di bulan September, lebih baik siapkan ember.

2.      Tidak perlu membawa kartu kredit, karena pembayaran di Yangoon, dilakukan menggunakan tunai. Ada satu hotel mewah yang saya kunjungi demi menumpang ke toilet bernama Park Royal, saya taksir di hotel inilah kartu kredit akan diterima. Itu pun dengan komisi charge 12%.



3.      Tur jalan kaki seputaran Sule Paya Pagoda wajib dilakukan. Banyak bangunan tua, kuil, gereja, masjid, dan hotel lawas. Cobalah makanan lokal sepanjang pinggir jalan. Mulailah dari Sule Paya ke arah Selatan, Sungai Burma, hingga berakhir ke utara di Pasar Bogyoke Aung San.



4.      Jika anda beragama Budha, negara ini sangat pas sekali untuk anda. Anda bisa sekaligus wisata religi. Banyak kuil dan pagoda yang sangat indah bertebaran seantero kota.

5.      Jika anda beragama muslim, cobalah kunjungi beberapa masjid yang ada di Yangoon yang terdapat di beberapa sudut kota. Pengalaman lain beribadah akan anda rasakan.



6.      Dari Bandara menuju pusat kota bisa ditempuh menggunakan taksi atau bus kota. Taksi mulai dari 8000 kyatt dan bus 200 kyatt saja.

7.      September 2015, saya anggap 1 kyatt senilai dengan 10 rupiah. Jadi hitung sendiri ya.

8.      Jika ingin menggunakan bus dari bandara ke pusat kota atau sebaliknya, yang harus anda lakukan adalah pergi keluar bandara. Susuri jalan sekitar 1 km menuju jalan raya. Ikuti alur kendaraan, mereka semua menuju jalan raya. Jika anda tidak yakin, bisa tanya orang. Cukup sebut Se Mi yang berarti Ten Miles. Disana tempat bus kota nomor 51 dan 53 mangkal.



9.      Dari Se Mi (yang diucapkan seperti Damai), naiklah bus nomor 51 atau 53 ke arah Sule. Sang kenek akan teriak-teriak kencang Sule-Sule. Jika, tidak mengerti bahasanya atau tulisannya? Tanyaaa!!

10. Turun di Sule (Sule Paya Pagoda) akan banyak guesthouse atau hostel murah. Hotel mahal macam Shangrilla, Park Royal juga ada. Terserah budget anda.



11. Kalau saya pilih hostel murah dekat Sule Pagoda. Rekomendasi saya adalah Okinawa Guest House. Letaknya dekat sekali dengan Sule Paya Pagoda. Terdapat Okinawa 1 yang terdiri dari rooms only dan Okinawa 2 yang menyediakan dormitory room. Harga dormitory room mulai dari 10 USD per bed per orang. Kalau bayar dengan Kyatt dapat diskon, bilang saja teman saya dari Jakarta #eh #siapague #sokiye



12. Ke Myanmar tidak pergi ke kota Bagan, ibarat ke Jakarta tidak liat Monas. Ibarat ke Paris tidak liat Eiffel. Ibarat ke Bandung tidak makan Batagor. Ibarat ke Palembang tidak makan Empek-empek. Ibarat ke Bali tidak lihat pantai #nyesekk. Ibarat ke Amsterdam tidak mencoba seks bebas #eh #loh #ngaco. Ibarat ke Singapur tidak foto dengan Merlion #sumpahgakpenting. Ibarat ke Raja Ampat tapi tidak nyelam #matiajalo #ngapainjuga. Ibarat ke Bangkok tapi gak kencan ama bencong #ogahamat #najistralala. Ibarat kemana ya, oh ibarat ke Surabaya tapi gak ketemu ibu Risma #nge-fansberat, ketemu ibu Risma loh ya, jangan malah ke Gg. Dolly karena udah ditutup #hidupbuRisma. Dan ibarat ke Makassar tapi gak tau siapa itu Sultan Hasanuddin #sejarah #pentingsekaliwahaianakmuda.

13. Sialnya, saya tidak ke Bagan. Tapi dunia belum kiamat kok. Perkara monsoon gak bawa payung dan diare kronis #manja #bhayy. Tapi justru ada alasan untuk balik lagi ke Myanmar.



14. Makanan di Myanmar, sayangnya tidak sesuai dengan lidah Jawa saya. Tapi haruslah itu dicoba yang bernama Mohinga, Athoke, Samusa Thoke, sampai dengan Mondhi. Paling tidak bisa memperkaya rasa yang lewat di lidah.



15. Silahkan kunjungi Myanmar segera, sebelum semakin ramai oleh kedatangan turis-turis yang berlandaskan azas kekinian.

16. Semoga berhasil






Komentar

  1. liatin foto-fotonya jadi pengen ke myanmar juga deh :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayo mas Fahmi. Singgahlah ke Myanmar, suasana Burma penghujung tahun sepertinya asik :)

      Hapus
  2. Assalamualaikum Ari . . ini Bu Wiwi Gustiwi Guru Matematika di SMP N 2 DEPOK hingga kini masih betah ngajar disana . . Wah keren Reportasenya . . Sekarang Ari sudah jadi orang sukses ya . . ibu juga kadang nulis di Kompasiana. oiya sekarang Ari tinggal dimana ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waalaikumsalam ibu Wiwi. Apa kabar bu? Matematika saya hancur sekarang, kudu refresh lagi haha. Saya masih di Jakarta-Depok. Sesekali saja liat kota/negara sebelah. Kapan ada waktu reunian ya bu :)

      Hapus
  3. Blog yang sangat menarik, saya tertagih untuk terus membacanya. Keep writting!

    BalasHapus

Posting Komentar

Komentar aja mumpung gratis