Melipir ke Langkawi

SUMPAH saya sakaw. Sudah lebih dari empat bulan tidak traveling keluar negeri, bikin stress juga. Saya pergi keluar negeri dengan tiket gratisan, jadi bukannya mau nyombong nih -mainnya ke luar negeri mulu-, tapi memang saya senang pergi gratisan. Anggap saya menang judi. Tidak perduli maskapainya apa, -selama ada kesempatan-, hajar bleh.

 Tahun 2011 lalu, saya sudah booked tiket pesawat Airasia untuk liburan murah, rutenya:

01| Jakarta-Kuala Lumpur, pesawat gratis;
02| Kuala Lumpur-Langkawi, pesawat gratis;
03| Langkawi-Kuala Lumpur, pesawat gratis;
04| Kuala Lumpur-Jakarta, pesawat gratis;

Asik kan. Semua flights dengan harga nol rupiah. Yes, I pay for nothing. Kalau airport tax mah jangan dihitung, semua orang juga harus bayar airport tax ketika bepergian. Jaman dulu nih, naik Airasia tidak pakai fuel surcharge, tidak perlu bayar bagasi dan biaya endebre-endebre lainnya. Sekarang ada tambahan, tapi lumayan lah daripada lumanyun.

Baiklah, sebelum perjalanan ini dimulai, mari kita berdoa. Supaya selamat. Saya dapat firasat buruk kalau trip ini bakalan gagal total. Pasalnya begitu ada satu saja flight yang delay, bisa merembet tuh ke belakangnya. Apalagi saya tipe penumpang yang paling malas beli asuransi, modal Bismillah saja, maut ada di tangan Tuhan.

###

Niatnya mau ke airport naik bus Damri. Biar murah. Anjriiit, saya bangun kesiangan. Jadwal pesawat JKT-KUL adalah jam 14.00, paling tidak saya harus sudah sampai di airport jam 13.00. Sedangkan jam 11.00 masih di Depok, nyantay di rumah. Hancur dunia! Tipikal orang Indonesia, datang ke airport mepet. Naik pesawat berasa naik bajaj.

Gedebak-gedebuk saya menuju stasiun kereta Depok Baru. Masih jamannya kereta Express kala itu, bukan Commuter Line yang sering ngadat macam sekarang. Tiket kereta Express 9000 rupiah setara dengan 1 USD dimasanya (tidak penting). Rencana disusun di dalam kereta. Akan naik apakah saya ke airport. Beralasan takut telat, akhirnya, saya putuskan bahwa saya akan turun di Stasiun Kota dan naik taksi ke airport. Padahal kresecker gembel macam saya ini harusnya pantang naik taksi. Tujuannya adalah demi penghematan biaya traveling.

###

Kawan, saya ceritakan kegemaran saya yang lain. Tidak hanya gemar mengumpulkan tatto, saya juga gemar mengumpulkan kartu remi. Apalagi kartu-kartu remi dari berbagai maskapai.



Sebabnya kalau beli kartu remi maskapai, yang jualan kartunya adalah mba-mba pramugari cakep. Aihh, belahan roknya nyaris menyentuh ikat pinggang. Pasti percaya kalau ini bohong. Alasannya, coba perhatikan, roknya kan tidak pake ikat pinggang.

Tapi benar loh, -menurut hemat saya-, bahwa mba-mba pramugari itu seakan sudah memperhitungkan secara presisi agar belahan rok tetap menutupi daerah aman. Terutama ketika mereka melakukan manuver gerakan jongkok, membungkuk, menyodorkan sesuatu, bahkan ketika harus berjinjit demi menutup kompartemen bagasi sebelum lepas landas. Pokoknya saya senang mendapat kartu remi dari mba-mba pramugari. Menambah koleksi.



Jegrek, passpor di stempel. Setelah menembus beberapa gumpalan awan, saya mendarat di Low Cost Carrier Terminal (LCCT) KL. lumayan sering sekali mengunjungi airport ini, karena gratisan tentunya. Masih ada waktu dua jam menunggu pesawat selanjutnya ke Langkawi. Rehat sejenak.

###

Nyaris malam ketika saya mendarat di Langkawi. Naik apa ya ke pusat kota? Ternyata di Langkawi tidak ada bus. Langkawi adalah pulau kecil, -dan benar-benar turistik area-, maka yang tersedia hanya taksi atau sewa mobil sekalian. Tidak terbayang kalau saya harus menyewa mobil. Macam liburan sekampung harus menyewa mobil. Malu ah, sama bekpek. Lagipula, jika saya malam-malam begini menyewa mobil, mau jalan kemana. Sudah gelap nanti disatronin leak (lopikir di Bali).

Sempet saya berfikir, apa saya sewa mobil saja, lalu tidur di dalamnya kalau saya capek. Bisa tidur bebas dimana saya mau. Lumayan ngirit biaya hotel dan bisa keliling seenaknya. Tapi kalau mobilnya mogok ditengah jalan apalagi ditengah hutan, bisa berabe urusannya. Sekali lagi demi alasan safety first, saya pilih naik taksi. Nextime kalau ada travelmate baru saya mau menyewa mobil di Langkawi, sekalian tidur di mobil sehingga tidak perlu sewa hotel. Ada yang mau tidak ya?



Well, taksi dari airport ke pusat kota hanya berjarak 10-15 menit, bayarnya sekitar 18-20 ringgit. 18 ringgit berarti jarak yang ditempuh taksi adalah dari airport ke Pantai Cenang, yaitu  tidak sampai 10 km. Jika 20 ringgit berarti jaraknya dari airport ke Pantai Tengah, sekitar 12 km. Asal sebut saja sudah buking disalah satu penginapan yaitu Zachry Guesthouse. Baru tahu belakangan letak penginapan itu di Pantai Tengah.



Sejatinya saya belum buking hotel apapun, tapi malam itu saya menuju Zachry Guesthouse, karena referensi internet. Pede benar ya. Sampai disana penginapannya sudah tutup. Macam mana pula. Saya tekan bel-nya berulang-ulang, berharap masih ada kamar yang harganya 35 ringgit permalam sesuai iklan. Tak lama keluarlah si empunya guesthouse. Dia bilang sudah tutup dan kamarnya full. Acuh saja.

Tiba-tiba si empunya guesthouse bertanya, “Dari Indon ya?”. Saya jawab, “Mmm.. dari Jakarta, Indonesia”. Terus apa bedanya ya, menurut saya aneh benar jika saya mendengar kata Indon. Kalau Indo tidak pake huruf “N” sudah biasa. Tapi kalau Indon, aneh saja terdengar di kuping. Seperti ada kesan konotasi negatif.

Si empunya guesthouse memperkenalkan diri, seorang perempuan namanya Pete (baca: Pit) yang asli Bandung. Saya menebak dalam hati, ini orang pasti namanya Pipit Darliapit.

Ealah kumaha damang? Sudah jauh-jauh pergi, masih ketemu urang Bandung yang buka usaha penginapan di Langkawi. Jadilah saya panggil dia teteh Pit. Sok akrab biar dikasi kamar ekstra. Hasilnya nihil, memang sudah full semua. Teteh Pit menawarkan ada satu kamar kosong yang tamunya pindah jadwal check in. Kalau saya berminat, bisa digunakan dengan harga sama, dengan syarat besok paginya saya harus check out.

Buset dah ogah amat. Saya kira, karena dari setanah air satu, tanah air Indonesia, saya akan dapat privilege apa gitu, ternyata tidak ada. Yah sudah, saya minta disarankan hostel lain yang murah dan bersih di sekitaran situ.



Kalau di Pantai Tengah tidak ada, paling kalau mau di Pantai Cenang yang jaraknya sekitar 3 kiloan, teteh Pit menyarankan. Oke lah kalau begitu. Sudah malam, tidak ada ojek. Saya jalan sendirian tiga kilometer ke Pantai Cenang demi mencari hostel murah.



Sekalinya dapat hostel seharga 20 ringgit. Dormitory room. Wah saya senang sekali. Eh, ketika akan diperlihatkan kamarnya, ternyata sang resepsionis salah cek. Lagi-lagi sudah fully booked. Kalau mau, masih ada sewa tenda kemping dihalaman, harganya 15 ringgit. OGAH AMAT. Lo kira digunung, cuihh prett.

Makin malam, dapatlah hostel De Melati. Lokasinya disebelah restoran Rasa, diseberang Underworld Langkawi. Kalau kawan main kesana, lokasinya pas dijalan utama Pantai Cenang. Tarifnya 25 ringgit per malam sudah termauk sarapan. Lumayan bersih. Satu ruangan isi 20 beds. Saya sewa untuk 2 malam. Selain itu, tersedia juga penyewaan motor seharga 30 ringgit per hari. Lumayan dari pada naik taksi terus, bisa tekor.

###

Maka jadilah roommates saya si Sharon dari England, Hiro dari Jepang, Luisa dan Christopher dari Sweden, juga dua orang bule tidak tau dari mana. Temen sekamar saya lumayan asik, baru kenal langsung mengajak kongkow, nangkring di Babylon. Sebuah Café pinggiran pantai yang ada live musiknya. Kira-kira mirip La Plancha kalau di Bali. Ini cafe buka sampai pagi. Disana nambah lagi dua orang Sweden abang adek dan seorang Denmark. Makin ramai. Macam Perserikatan Bangsa-Bangsa versi mini sedang berkumpul, dimana satu-satunya peserta dari negara dunia ketiga masih saja tidak bisa memutuskan suatu hal penting, yaitu akan ikutan mabuk atau tidak.

Peserta dari negara berkembang itu –sewot tidak mau disebut negara dunia ketiga- akhirnya mohon diri duluan karena sudah mengantuk. Peserta lain masih tinggal di Babylon dan lanjut sampai pagi. Salut deh kalau sudah soal nangkring-menangkring di café gitu. Tuh bule-bule tidak ada matinya. Orang pertama yang saya lihat ada di kamar hanya Hiro, dia selalu jadi yang pertama molor dan hebatnya pasti sudah tewas sebelum midnight. Disiplin. Sangat disiplin, sesuai darimana dia berasal.



Pagi besokannya, -setelah breakfast dan morning chat bersama roommates tentang rencana sehari ini-, saya putuskan untuk naik cable car Langkawi yang tingginya naujubileh. Cristoph dan Luisa ingin melihat peternakan dan kebun buah. Sharon tidak ada rencana, karena sudah pernah lihat cable car. Dia menyarankan saya untuk tidak lupa membawa kamera. Sharon bilang pemandangan diatas Langkawi Geopark keren abis. Maka tancaplah saya keliling pulau selesai mengunyah roti panggang. Motor yang saya sewa skutik. Lumayan irit dan pas saya cek tangkinya sudah full. Mantap.

###

Langsung menuju destinasi pertama Langkawi Geopark. Tempatnya sekitar 25 kilometer dari Pantai Cenang. Kawasan pegunungan yang banyak elangnya. Selama di perjalanan, yang saya lihat lebih banyak sawah, hutan yang banyak monyet, dan yihaaaa laut! That’s all makes me enjoy my life. Thanks God.



Saya paling suka lihat alam, disepanjang jalan saya temukan sungai serta pinggiran laut. Banyak kapal layar sedang bersandar. Masuk ke hutan-hutan yang monyetnya banyak sekali lalu belok ke pantai. I like and enjoy that much. Sekitar empat puluh menitan berkendara, -karena saya jalan santai dan sering berhenti untuk foto-, akhirnya sampai juga di kawasan cable car. Tempat wisatanya tertata sangat rapi, banyak toko-toko souvenir dan restoran sepanjang parkiran menuju loket tiket. Masih pagi, jadi belum begitu banyak pengunjung yang datang.



Harga untuk naik cable car adalah 30 ringgit untuk dewasa dan anak-anak 20 ringgit. Langsung saya beli tiket dan hop on to the cable car. Saya lupa kapan dan dimana terakhir kali naik cable car, yang pasti cable car-nya tidak mendaki gunung begini.


Sensasinya bikin grafik mood happy langsung naik curam beberapa derajat. Saya pergi sendirian jadi ketawa-tawa juga sendirian. Cuma takut dikira gila, saya ajak tertawa pasangan manula dari India yang duduk dalam satu kereta gantung. Mereka liburan bulan madu yang entah keberapa kalinya. Saya bilang ke mereka kalau saya senang sekali bisa naik cable car ini. Semoga suatu saat nanti bisa pergi ke India. Keinginan saya didengar semesta.

###

Pos pertama cable car berhenti di ketinggian 600-an meter lebih diatas permukaan laut. Dalam beberapa menit, saya sudah sampai diketinggian ini. Coba bayangkan kalau harus didaki, berapa jam nyampainya. Pemandangan dibawahnya, widihh cakeepppppp. Rimbunan pohon menutupi gunung mirip brokoli raksasa. Lebat sekali berwarna hijau. Bayangkan mirip brokoli, dan brokoli itu memenuhi semua permukaan gunung.



Pemandangan mata semakin jauh mengarah ketepi pulau, barisan warna putih meliuk-liuk. Yes, garis pantai Pulau Langkawi. Ditengah lautnya beberapa pulau kecil bertebaran. Mungkin Pulau Dayang Bunting juga ada disitu. Sumpah, saya merasa pagi yang sempurna dalam salah satu trip saya. Sekali lagi saya besyukur bisa lihat itu semua. I love my life.



Puas foto-foto dipos pertama, saya lanjutkan naik cable car lagi ke pos kedua. Jaraknya lebih dekat, tapi saya akan segera berdiri di tempat lebih tinggi lagi. Yup, setelah sampai di pos selanjutnya, pemandangan makin ajaib. Hawanya tetap panas-panas sejuk. Tetep bikin gosong. Di ketinggian 705 meter diatas permukaan laut gini, saya berasa pengen loncat menggunakan paralayang. Teringat waktu dulu berolahraga paralayang di Puncak Bogor. Gimana jadinya kalau saya loncat dari bukit Langkawi ini, pasti nikmat sekali.




Bukit Langkawi, salah satu daya tariknya adalah jembatan yang menghubungkan antar bukit. Di ketinggian 700-an meter diatas permukaan laut tersedia connecting bridge, dan saya berdiri diatasnya. Haha, am really enjoying my day. Jepret terus sana sini.







Puas main diatas jembatan, saya segera turun lagi menggunakan cable car, sensasi turunan asik juga. Benar saja ketika sampai dibawah, cuaca makin panas, dan antrian orang mulai mengular. Pesan moral yang bisa dipetik adalah silahkan datang pagi-pagi kalau tidak mau antri dan kepanasan.





###

Saya lihat di peta, bahwa di dekat Langkawi Geopark ada air terjun. Namanya air terjun Seven Wells. Yah berangkatlah saya kesana sebagai sasaran selanjutnya. Hanya sekitar 10 menit dengan motor sudah sampai. Ternyata free entrance. Gratis. Horee. I love gratisan. Hanya bayar parkir motor saja 1 ringgit. Wah, good service.



Mulai mendaki ke Seven Wells. Ketinggiannya untuk sampai di Seven Wells harus naik tangga yang berjumlah 638 anak tangga. Menurut papan informasi, ketinggian diatas situ sekitar 480 meter diatas permukaan laut. Saya menanjak sampai keringedan, kalau Bahasa Perancisnya gobyos. Supaya baju saya tidak basah kuyup karena keringat, terpaksa sambil buka baju.


Capek, pasti. Tapi terbayar ketika saya lihat air terjunnya. Huaaa… sumpah keren mampusss.. Sayangnya saya tidak bawa celana renang. Ketinggalan dikamar, jadi tidak bisa main basah-basahan. Nextime, saya akan berenang disitu. Saya sudah ikrarkan janji pada batu dan rumput yang bergoyang disekitar air terjun. Bahwa saya akan kembali, demi berenang di Seven Wells.



Di Seven Wells ini, saya berkenalan dengan dua cewe cakep dan panas (baca: hot)  asal Belanda. Namanya Monique dan Caroline. Mereka berdua sedang berlibur di Asia. Saya mendengar mereka sedang ngobrol menggunakan bahasa ibunya, Bahasa Belanda. Kebetulan saya sotoy, jadilah nimbrung dan selanjutnya jadi temenan selama setengah hari di Langkawi. Jarang-jarang dapet temen cakep begini.

Mereka kaget ada orang Indonesia yang bisa ngomong Boso Londo. Saya membual ke mereka, bahwa di Indonesia banyak opa-oma yang masih berbahasa belanda. Saya termasuk salah satu opa itu.

Seven Wells termasuk daftar tempat yang harus dikunjungi ketika ngetrip di Langkawi. Air terjunnya tinggi dan pemandangannya ciamik. Batu-batu besar dan pemandangan ajib. Setelah dari Seven Wells, saya dan dua orang cewe londo tadi sepakat untuk mencari air terjun lainnya. Tiba-tiba kami kompak jadi pemburu air terjun.

###

Di peta dijelaskan ada Temurun Waterfall yang jaraknya lumayanan diujung utara pulau Langkawi. Deal, maka berangkatlah kita bertiga. Cewe-cewe londo bawa skutiknya sendiri, mereka goncengan. Ternyata jarak ke Temurun Waterfall agak jauh. Tapi ketika sampai disana, semuanya terbayar dengan keindahan air terjun Temurun.



Lokasi air terjun Temurun dari jalan raya harus hiking sedikit di jalan setapak yang sudah disiapkan. Masuk ke dalam hutan. Sekeliling pepohonan banyak terdengar bunyi suara alam seperti jangkrik dan burung. Serasa simfoni alam. Damai dan tenang, adem pula. Memang tidak sampai ngos-ngosan manjat ke tempat air terjunnya. Tapi begitu sampai, widihhh urat narsis otomatis nyala. Jepret sono sini. Apalagi sekarang ada travelmates yang menemani, cewe pula, bisa motoin juga. Tambah narsis.
 
Loreng Caroline, Biru Monique

Dari Temurun Waterfall, saya pisah jalan dengan si dua cewe londo. Perkaranya simpel. Lapar. Mereka mau makan roti, dan saya mau makan nasi lemak. Dasar perut keju versus perut singkong. Kami berpisah ditengah jalan tetapi janjian lagi setelah makan siang nanti. Rencananya kami akan bertemu di Pantai Cenang untuk sunbath. Bayangkan itu kawan, adegan sunbath. Saya beri tahu bagi kawan-kawan yang norak, apa itu sunbath. Adalah mandi matahari. Dimana-mana, yang namanya mandi pasti buka baju kan. Tengil benar saya waktu itu.



Monique dan Caroline beruntung kulitnya dirancang untuk sunbath, nah kulit saya dirancang untuk moonbath. Tetapi kesempatan tidak datang dua kali kawan. Mumpung di Langkawi bersama cewe-cewe Londo, saya meng-iya-kan saja.

###

Supaya cepat bertemu mereka lagi, meluncurlah saya cari kedai nasi lemak di pelosok kampung. Sengaja saya mencari nasi yang benar-benar tradisional, karena pasti rasanya beda. Patokannya adalah nasi uduk kampung versus nasi uduk mall. Pasti enakan yang dari kampung kan. Itu teori saya. Ternyata benar. Setelah saya berpusing-pusing, ketemulah salah satu kedai. Judulnya mejual nasi campur. Menu makan siang saya adalah nasi, ikan bilis di sambelin, telor ceplok, sayur oseng oseng, ikan tongkol, ama kuah kari. Minumnya es teh tarik. Sempurna.

Sang penjual nasi campur adalah seorang ibu-ibu penduduk lokal. Dari bahasa non-verbalnya si Ibu, bisa saya terjemahkan sebagai berikut: "wah ada turis dari Indon makan di kedai saya". Sighh.. kenapa juga masih harus pake huruf “N” dibelakangnya. Enakan Indo dikuping. Seolah raut wajah si ibu mengatakan "Jarang sekali ada turis dari Indon. Kalau orang Indon biasanya di Malaysia tuh kerja (baca: TKI)". Miris.

Si Ibu yang penasaran akhirnya bertanya kepada saya, tentang pekerjaan apa yang saya lakukan di Jakarta. Kalau saya jelaskan saya seorang kresecker – dia pasti bingung, mengaku model - saya terlalu tampan, mengaku dokter – saya tidak sepintar itu, mengaku pengusaha – ngapain juga nge-gembel, mengaku bandar narkotik – bisa jadi tapi berbahaya, mengaku gigolo internasional – ah, terlalu vulgar. Akhirnya saya jawab bahwa saya kerja sebagai wartawan. Si Ibu pun diam.

Setelah makan, perut full, saatnya isi perut motor. Isi bensin sekitar 2 ringgit. Sudah penuh lagi. Siap untuk keliling.

Janjian dengan Monique dan Caroline di pantai setelah makan. Tapi udara masih panas diluar. Bisa gosong nanti dan bukan efek tan yang saya dapat. Saya ingat, mereka berpesan akan berjemur beralaskan handuk warna biru. Maka ketika matahari sudah agak doyong sedikit, mulailah saya bergerilya cari bule di pantai.

###

Tetep saja udara masih panas. Dipantai, saya dapat tawaran macam-macam. Mulai dari jetski, banana boat, parasailing, dan aktivitas standar pantai. Jawaban saya sambil terus jalan menyusuri pantai adalah no thanks. Sambil senyum. Memang saya tidak ada waktu dan budget untuk begituan.

Setiap kali saya celingak-celinguk cari cewe bule berjemur beralaskan handuk biru, selalu bukan Monique dan Caroline. Lantas saya pikir mereka tidak jadi berjemur. Terus saja saya mencari di antara bule-bule yang bergoleran telentang-tengkurep.



Perempuan berjemur mengenakan bikini, pria cawat saja. Lumrah. Tapi teriknya matahari membuat kamuflase di mata saya. Ada satu cewe yang dari kejauhan terlihat seperti cowo sedang berjemur, karena menggunakan celana dalam saja. Yes she is top less. T.O.P.L.E.S.S.. Biasa aja kali bung!

Posisinya telentang. Muka berkacamata hitam yang kemungkinan sedang merem. Silahkan dibayangin dan bukan cerita jorok nih ya. Karena kejadian setting tempatnya memang dipantai dan lagi panas-panas pula.

Positif thinking. Pertama, si mba-mba bule kepanasan. Kedua, si mba-mba bule memang sudah biasa begitu. Ketiga, mba-mba bule tidak pengen warna kulitnya belang dibagian tertentu. Keempat, aduh saya tidak bisa mikir.

Karena posisi telentangnya sudah pas didepan saya, yah masak saya mau balik badan. Saya terus maju jalan. Pas sudah deket sekali, ternyataaa si mba-mba topless adalah Monique. Sedangkan Carolien ada disebelahnya sedang bergoleran baca buku. Handuk, handuk, mana handuk.

Saya lihat handuk tatakan badan mereka berwarna biru. Sudah pasti mereka. Tiba-tiba dengan adegan sepersekian detik cepatnya, set-set-set: Carolien nengok ke saya, saya nengok ke Monique, Monique tidak tahu sedang melihat kemana karena dia berkacamata hitam dan dalam posisi telentang.

Degg, nanti saya disangka ngintipin lagi. Setau saya ngintipin melanggar hak asasi manusia dan termasuk pelecehan. Kali ini termasuk kedalam pelecehan seksual gak ya. Tapi kan ini dipantai, tapi kan ini siang-siang, tapi kan ini rame, tapi kan ini… langsung berbagai alasan segera terkumpul untuk jawaban, kali saja ditanyain. Lagian kenapa juga lo telanjang!!

Detik yang sama Carolien memberikan bra ke Monique dengan anggun. Saya langsung menyapa hangat sambil menoleh ke Carolien, ekor mata tetep mengarah ke tempat lain. Bukan, bukan ke arah Monique, karena Monique –saya duga- pasti lagi ribet mengikat suatu tali-temali dipunggungnya. Saya melirik ke arah benda bulat lonjong yang dari tadi menetes tak terkontrol. Persis berada di genggaman tangan saya. Aihh, botol air mineral yang saya pegang dari tadi menetes karena berembun. Saya baru membelinya dari warung pinggir pantai, sesaat sebelum bertemu mereka. Airnya masih dingin karena baru keluar dari kulkas… tes.. tes… tes.

Ternyata sapaan saya dijawab ramah oleh mereka. Mereka bilang kalau sudah dari tadi berjemur. Bahkan mereka mengajak saya untuk berjemur juga bersama-sama. What the.. saya kira bakal didamprat, ternyata seperti tidak terjadi apa-apa. Saya langsung gelar lapak dan ikutan sunbath. Threesome, bertiga maksutnya. Padahal kulit saya sudah gosong sebelum berjemur. Kenapa saya masih nekat berjemur juga. Nakal, nakal sekali. Oh ya, nasib botol air mineral saya, tetesannya makin parah. Rembes hingga ke handuk.



###

Pulang ke hostel saya pangling lihat orang dicermin. Bukan tanning tapi mirip dakocan. Setelah mandi I had my dinner dan kongkow ama roommates. Si Inggris, si Swedia, dan si Indonesia. Ngobrol ngalor-ngidul. Makin malam kayaknya saya makin tidak bisa tidur.

Melipir ke cafe Babylon lagi di pinggir pantai, yang letaknya tinggal sepelemparan kolor dari kamar. Lanjut ngobrol ini itu. Tiba-tiba saya masih ingin eksplore Langkawi walau sudah malam. Spontan, saya pacu motor menuju Kuah Town. Mirip ibukotanya di Pulau Langkawi. Iseng saja. Kuah Town berjarak sekitar 20 km. Ternyata di Kuah Town tidak ada apa-apa. Hanya mall dan saya pulang lagi.  



Ditengah jalan saya lihat ada pasar malam. Otomatis merapat dan melihat kondisi pasar malam. Wah, makanan yang dijual enak-enak. Ada nasi lemak kukus yang belum pernah saya coba sebelumnya. Metode nasinya di kukus mirip kue putu. Lauknya, saya pilih telur dan ikan bilis. Semua hanya 2 ringgit. Disebelahnya ada makanan khas India, samosa, risol dan sate bola udang. Tidak tahu jam berapa selesainya, yang pasti sampai di hostel saya langsung tepar terkapar.

###

Paginya setelah breakfast, merupakan hari terakhir di Langkawi. Saya kembalikan motor dan pamitan dengan roommates. Saya akan menuju airport dengan berjalan kaki. Jalan kaki saudara-saudara. Tidak jauh sih, jarak dari hostel ke airport hanya limabelas kilometer. Sekali lagi limabelas. Biar mantap.



Niatnya berjalan karena saya masih punya banyak waktu dan sengaja mau sambil foto-foto dataran Langkawi. Perhitungan saya, dengan jarak segitu tidak akan lebih dari 2 jam perjalanan. Hemat dan saya bisa sekaligus melihat-lihat pemandangan. Hasil dari perjalanan menuju airport berjalan kaki adalah kaki berair, tandanya akan kapalan. Kalau tersentuh terasa nyut-nyutan. Tapi saya tetep bahagia.




Dibutuhkan hanya satu jam berada di pesawat, hingga saya kembali mendarat di Kuala Lumpur. Transit sejenak sebelum kembali terbang ke Jakarta. Cita-cita saya menuju India tersimpan di rerimbunan hutan Langkawi. Saya akan menuju kesana. Pasti.



@arkilos


Komentar

Posting Komentar

Komentar aja mumpung gratis